Pernahkah Anda bertanya, mengapa agama-agama besar di dunia nabi-nabinya tidak menulis sendiri kitab sucinya? Jadi kita sering menjumpai bahwa justru kitab suci adalah kumpulan tulisan atau kesaksian para pengikutnya yang kemudian dibukukan (kanonisasi). Ini menjadi pemikiran saya pagi ini. Saya coba menguraikan secara sederhana lewat pemikiran awam saya.
1. Para Nabi Umumnya Tidak Menulis Sendiri Kitab Sucinya
Banyak tokoh sentral agama besar memang tidak menulis langsung kitab suci yang menjadi dasar ajaran mereka. Contoh:
Yahudi: Musa dianggap sebagai tokoh utama dalam Taurat (Pentateukh), tapi para ahli sepakat bahwa teks-teks ini ditulis dan disunting oleh beberapa penulis setelah masa hidup Musa (teori dokumenter).
Kristen: Yesus tidak menulis Injil atau dokumen apa pun. Kitab Perjanjian Baru ditulis oleh murid-murid dan pengikutnya (Markus, Matius, Lukas, Yohanes, Paulus, dll).
Islam: Nabi Muhammad tidak menulis Al-Qur’an. Ia menyampaikan wahyu secara lisan, dan sahabat-sahabatnya kemudian menghafal dan menuliskannya, baru dikodifikasikan secara resmi pada masa Khalifah Utsman.
Hindu: Kitab-kitab seperti Weda berasal dari tradisi lisan yang sangat tua, bukan dari satu tokoh, dan disusun oleh resi-resi dalam periode yang panjang.
Buddha: Siddharta Gautama tidak menulis sendiri ajarannya. Ajaran Buddha dicatat dan disusun dalam bentuk Tripitaka oleh para pengikutnya ratusan tahun setelah wafatnya.
2. Agama Mengandung Narasi dari Penganut dan Komunitasnya
Realitas ini muncul dalam pemikiran saya, karena kitab-kitab suci ditulis, disusun, ditafsirkan, dan diwariskan oleh para pengikut atau komunitas, maka:
Ada unsur konteks sejarah, budaya, dan politik dari para penulis.
Teks agama sering mengalami kodifikasi dan kanonisasi oleh kelompok yang berkuasa.
Ajaran agama sering kali dibentuk oleh tradisi lisan, tafsir, komentar, dan konsensus komunitas dalam perjalanan waktu.
Contohnya:
Dalam Kekristenan, konsili-konsili gereja awal menentukan kitab mana yang dianggap kanonik (diilhami) dan mana yang tidak.
Dalam Islam, hadis sebagai sumber kedua hukum Islam juga melalui proses verifikasi dan kodifikasi oleh para ulama setelah Nabi wafat.
Dalam Hindu dan Buddha, banyak kitab suci adalah hasil kompilasi tradisi dan ajaran kolektif selama berabad-abad.
Kesimpulan
Agama tidak lahir sebagai teks tertulis dari satu orang saja, tetapi tumbuh dari interaksi antara pengalaman spiritual, tradisi lisan, komunitas pengikut, dan pengaruh sejarah yang kompleks. Karena itu, agama selalu memiliki unsur naratif yang dibentuk dan diwariskan oleh manusia.
Tulisan ini murni hanya pendapat pribadi saya, dari sebuah perenungan di pagi hari.