MENYANGKAL DIRI YANG SALAH KAPRAH (renungan Kristiani)




Melihat fakta kejadian di sekitar kita belakangan ini, terlepas dari sudut pandang politik apapun maka para koruptor yang tertangkap oleh KPK maupun Kejaksaan bisa dilihat rekam jejaknya sebelum mereka menajdi tersangka.  Umumnya mereka akan menampakkan penampilan yang seolah-olah tidak menyukai korupsi, selalu melawan korupsi, menganjurkan kepada bawahannya supaya melawan korupsi.  Bahkan ada yang melontarkan ide untuk hukuman mati bagi koruptor.
Namun apa yang mereka lontarkan sebelum tertangkap akan berlawanan kenyataannya dengan setelah mereka ditangkap, setidaknya kita bisa melihat dari bahasa tubuhnya.  
Mereka yang pada mulanya menyangkal tidak pernah korupsi dengan berbagai alasannya: aktif dalam organisasi yang menolak korupsi, orang tuanya terpadang dan bersih dari cela korupsi dan sebagainya. Toh akhirnya pengadilan memutuskan mereka harus masuk bui. Inilah yang saya katakan sebagai salah kaprah penyangkalan diri.


Dalam Markus 14:66-72 kita membaca kisah Petrus yang menyangkal Yesus sebanyak tiga kali. Penyangkalan ini lahir dari rasa takut, lemah iman, dan keinginan untuk menyelamatkan diri. Namun, di balik kejatuhan itu, kita belajar makna penting: betapa mudahnya manusia mengelak dari kebenaran demi kenyamanan dan keselamatan sesaat.

Di zaman kita sekarang, kita sering melihat penyangkalan dalam bentuk lain: para koruptor yang ketika terbukti bersalah justru berkata, “Saya tidak melakukan itu.” Mereka menyangkal perbuatan dosa, padahal bukti-bukti mengungkapkan sebaliknya.

Ketika Yesus berkata, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku” (Markus 8:34), penyangkalan diri yang dimaksud adalah menolak ego, menolak keinginan dosa, menolak jalan pintas demi kepentingan pribadi, lalu memilih taat kepada Allah. Penyangkalan diri berarti:

  • Tidak hidup untuk kemegahan pribadi, melainkan untuk kemuliaan Allah.

  • Tidak mencari keuntungan sesaat, melainkan kesetiaan pada kebenaran.

  • Tidak menyelamatkan diri dengan kebohongan, melainkan berani jujur meskipun konsekuensinya berat.

Sayangnya, makna luhur ini sering diputarbalikkan. Koruptor yang menyangkal dirinya bukanlah dalam arti meninggalkan dosa, melainkan menolak pengakuan atas dosa. Mereka menyangkal kesalahannya demi menjaga kehormatan palsu, kekayaan, atau kuasa. Penyangkalan ini berbeda dengan ajaran Kristus, karena bukan mengosongkan diri dari dosa, melainkan menutupi dosa dengan kebohongan.

Jika Petrus akhirnya menangis dan bertobat setelah sadar akan penyangkalannya, banyak orang pada zaman ini tetap mengeraskan hati, bahkan menikmati “kenikmatan sesaat” dari hasil kejahatan.

Pesan penting bagi kita, baiklah kita :.....

Jujur pada diri sendiri dan Allah. Jangan menutupi dosa dengan kebohongan. Mengaku salah di hadapan Tuhan adalah awal dari pemulihan.

Belajar dari Petrus. Ia jatuh, tapi tidak berhenti di kejatuhan. Ia menyesal dan kembali dipakai Tuhan untuk pelayanan yang besar.

Penyangkalan diri yang benar. Bukan menyangkal kesalahan, tetapi menyangkal ego yang mendorong kita pada dosa. Inilah panggilan murid Kristus sejati.

Sebagai penutup saya mengajak saudara berhati-hati agar tidak jatuh pada penyangkalan yang salah kaprah. Koruptor menyangkal demi melindungi diri dari kebenaran. Tetapi murid Kristus dipanggil menyangkal diri demi hidup di dalam kebenaran.

Kiranya kita berani berkata: “Lebih baik aku rugi di dunia, asalkan aku tetap hidup benar di hadapan Allah.” Karena pada akhirnya, penyangkalan diri yang sejati akan membawa kita pada kehidupan kekal.


Yogyakarta, pagi sejuk di 7 September 2025



Tidak ada komentar:

Posting Komentar