Khotbah pagi tadi di GKI Ngupasan berjudul Melepas
Pengampunan. Khotbah disampaikan oleh seorang Pendeta GKI Citra I Jakarta. Saya
suka dengan simpelnya sistematika kotbahnya. Mudah dipahami dan mudah diingat,
serta memotivasi seseorang untuk melakukannya.
Didasari dengan Matius 18:21-35 tentang pertanyaan Petrus kepada
Yesus, berapa banyak kita harus mengampuni orang yang bersalah kepada kita?
Kemudian Yesus memberikan perumpamaan tentang seorang tuan yang mengampuni
hambanya yang berhutang 10.000 talenta kepadanya, tetapi hambanya itu justru
menekan hamba lainnya yang hanya
berhutang sebesar 100 dinar kepadanya. Tentu saja banyak teman teman nya yang
tidak setuju dengan kelakuan hamba tersebut dan melaporkannya kepada Tuannya.
Akhirnya hamba tersebut ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara. Sebagai
perbandingan bahwa 1 dinar adalah upah pekerja untuk satu hari pada masa itu.
Nilai satu talenta adalah 6000 dinar. Jadi jika dihitung maka 10.000 talenta =
10.000 x 6.000 atau 60.000.000 dinar. Jika ditarik lagi ke nilai rupiah maka 1
dinar kita anggap sama dengan UMP satu hari semisal 100.000 rupiah. Maka
nilainya dalam rupiah adalah 60.000.000 x Rp. 100.000 atau setara Rp 6 trilyun.
Woow sebuah nilai yang sangat besar dan tak mungkin akan
terlunaskan oleh hamba pertama yang berhutang kepada tuannya. Jaman Yesus hidup masih sangat banyak terjadi
praktek perbudakan. Hukum yang berlaku pada saat jaman itu jika seseorang
berhutang dan tak bisa melunasi maka ia dan seisi rumahnya, anak dan isterinya
akan diual untuk melunasi hutangnya. Namun dengan pengampunan tersebut maka
seharusnya ada rasa syukur yang luar biasa pada hamba tersebut. Tetapi apa yang
terjadi? Hamba itu justru mencekik hamba lainnya yang hanya berhutang sebesar
100 dinar kepadanya.
Jika kita melihat perumpamaan yang disampaikan Yesus maka
kita bisa berkaca atau bercermin daripadaNya. Apakah kita berlaku sebagai seorang
hamba yang seperti dicontohkan? Pertanyaan Petrus kepada Yesus tentang berapa
seharusnya kita mengampuni kesalahan orang lain? Apakah 7 kali sudah cukup.
Ternyata menurut hukum Yahudi mengampuni seseorang yang bersalah hanya diperbolehkan 3
kali saja. Nah Petrus sudah memperbanyak jumlahnya dalam pertanyaan yang
disampaikannya, apakah 7 kali. Namun ternyata Yesus justru menjawab dengan
jumlah yang spektakuler yaitu 70 kali 7 yang secara matematis adalah 490 kali.
Apakah ini jumlah eksak yang harus dilakukan sebenarnya ketika kita harus
mengampuni seseorang? Ternyata itu adalah jumlah yang tak terhitung ketika kita
harus mengampuni seseorang. Angka 7 bilangan sempurna dan angka 10 menunjukkan
bilangan genap jadi memberi makna bahwa
pengampunan itu bermakna sangat sempurna.
Tetapi tidak mudah bagi seseorang
memberikan pengampunan, sebab ingatan kita didesain lebih mudah mengingat ingat
kejadian yang menyenangkan dan kejadian yang menyakitkan. Itulah sebabnya maka
mengampuni itu justru bukan melupakan, sebab pastilah tidak bisa melupakannya.
Mengutip Eka Dharmaputera yang mengatakan bahwa mengampuni bukanlah melupakan
tetapi justru harus mengingatnya kemudian baru kita melepaskan pengampunan itu.
Mengampuni adalah melepaskan Hak pembalasan yang seharusnya bisa kita lakukan
atas kesalahan orang yang bersalah kepada kita. Dicontohkan tentang seorang
Nelson Mandela yang dipenjara selama 27 tahun akibat dia melawan politik
Apartheid di Afrika dan harus mengalami pemenjaraan, penyiksaan yang luar bisa.
Sampai diceritakan bahwa Nelson Mandela pernah suatu saat pernah digantung
terbalik dengan kepala dibawah sambal dipukul dan dikencingi oleh sipir
penjara. Dia menerima tanpa melakukan perlawanan. Sampai akhirnya pada usia 71
tahun ia dibebaskan dan 4 tahun kemudian Nelson Mandela menjadi seorang
Presiden di Afrika selatan. Saat pelantikannya dia justru mengundang sipir
penjara yang pernah menyiksanya, sipir itu masih hidup. Dia diundang sebagai
tamu kehormatan dan saat seusai pelantikan Nelson Mandela memberi salam kepada
sipir sambal mengungkapkan bahwa dia bersyukur sudah mengalami peristiwa didalam penjara yang sebenarnya
mendukung dirinya untuk sampai pada keberhasilan apa yang diperjuangkannya
selama itu. Padahal kalau secara manusiawi bisa saja Nelson Mandela membalas
dengan menghukum si sipir penjara tersebut.
Kotbah diakhiri dengan sebuah sajak tulisan Pdt Em Kuntadi Sumadikarya
yang menceritakan tentang bagaimana seseorang yang belajar mengampuni di
ibaratkan sebagai orang yang sedang belajar naik sepeda. Saat pertama kita
belajar naik sepeda maka tentu akan terjatuh, kita harus siap dengan lutut
terluka, harus memperhatikan bagaimana mengayuh, bagaimana menggerakkan tubuh
untuk menjaga keseimbangan, bagaimana memegang kemudi yang sebelah kiri atau
sebelah kanan. Namun setelah beberapa kali belajar maka kita akan lancer,
tetapi kita harus berani jatuh. Tanpa berani jatuh dan terluka maka kita tidak
akan bisa naik sepeda. Demikian juga dengan pengampunan, tanpa kita mau sakit
maka kita tidak akan pernah bisa mengampuni dengan baik.
*) Disarikan dari Khotbah pukul 06.30, tanggal 17 September
2017, di GKI Ngupasan Yogyakarta disampaikan oleh Pendeta Dani Purnomo dari GKI
Citra I Jakarta.
( Sumber foto: Google )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar