HIDUP KEKAL, PEWAHYUAN ATAU IMAJINASI MANUSIA


 Pernahkah terlintas di pikiran anda soal konsep hidup kekal yang hampir selalu ada di setiap agama-agama mainstream. Saya pernah berpikir apakah sebenarnya konsep hidup kekal ini sebenarnya adalah sebuah keserakahan manusia yang setelah merasakan enak di dunia lantas ia kepengen enak juga di surga sana? lalu diciptakanlah berbagai narasi tentang hidup kekal itu. 

Mari kita telusuri jejak sejarahnya haha....


1️⃣ Jejak dalam Filsafat: Tuhan sebagai Proyeksi Keinginan Manusia

Salah satu tokoh paling terkenal yang mengajukan teori ini adalah Ludwig Feuerbach. Dalam bukunya The Essence of Christianity (1841), ia menulis:

"Theology is anthropology: the divine being is nothing else than the human being, or rather, the human nature purified, freed from the limits of the individual, made objective."
(“Teologi adalah antropologi: keberadaan ilahi tidak lain adalah keberadaan manusia, atau tepatnya, sifat manusia yang dimurnikan, dibebaskan dari batas-batas individu, dan diobjektifkan.”)

Feuerbach berargumen bahwa konsep Tuhan, termasuk janji kehidupan kekal, adalah cerminan keinginan terdalam manusia—terutama keinginan untuk mengalahkan kematian.

Pemikiran ini kemudian memengaruhi Karl Marx dan Friedrich Nietzsche. Nietzsche dalam Thus Spoke Zarathustra bahkan menuduh agama sebagai "penghibur" yang menghalangi manusia menghadapi kenyataan hidup.


2️⃣ Perspektif Freud: Agama sebagai Ilusi Psikologis

Sigmund Freud dalam The Future of an Illusion (1927) memandang agama sebagai mekanisme psikologis untuk mengatasi rasa cemas terhadap dunia dan kematian:

"Religion is comparable to a childhood neurosis."
(“Agama dapat dibandingkan dengan neurosis masa kanak-kanak.”)

Menurut Freud, janji kehidupan kekal hanyalah ilusi kolektif—sebuah dongeng dewasa—yang memberi rasa aman, sama seperti anak kecil merasa aman saat memeluk ibunya.


3️⃣ Fungsi Sosial Menurut Sosiologi Agama

Émile Durkheim dalam The Elementary Forms of Religious Life (1912) menegaskan bahwa agama berfungsi menjaga keteraturan sosial.
Konsep kehidupan kekal bukan hanya untuk memberi harapan, tetapi juga membentuk moral kolektif. Surga memberi insentif bagi perilaku baik, neraka memberi sanksi atas perilaku buruk.

Sementara itu, Peter L. Berger dalam The Sacred Canopy (1967) menjelaskan bahwa agama menciptakan "kanopi sakral"—payung makna yang melindungi manusia dari kekacauan eksistensial. Kehidupan kekal menjadi bagian dari narasi kosmik yang memberi makna pada kelahiran, penderitaan, dan kematian.


4️⃣ Psikologi Eksistensial: Menolak Kematian

Ernest Becker, peraih Pulitzer melalui bukunya The Denial of Death (1973), berargumen bahwa hampir semua pencapaian budaya manusia adalah strategi untuk melawan kesadaran akan kematian.
Ia menulis:

"The idea of death, the fear of it, haunts the human animal like nothing else; it is a mainspring of human activity—designed largely to avoid the fatality of death, to overcome it by denying it in some way."

Kehidupan kekal, dalam pandangan ini, adalah bentuk penyangkalan terhadap kefanaan. Ia memberi manusia ilusi bahwa dirinya akan terus ada, entah di surga, dalam bentuk reinkarnasi, atau diingat selamanya oleh keturunan.


5️⃣ Refleksi: Antara Imajinasi dan Keyakinan

Dari semua perspektif ini, hipotesa bahwa konsep kehidupan kekal lahir dari imajinasi manusia memiliki dasar ilmiah dan filosofis yang kuat.
Namun, argumen dari sisi iman akan berkata:
Kerinduan universal akan keabadian justru bukti bahwa manusia memang diciptakan untuk sesuatu yang abadi.

C.S. Lewis, dalam Mere Christianity, menulis:

"If I find in myself a desire which no experience in this world can satisfy, the most probable explanation is that I was made for another world."
(“Jika aku menemukan dalam diriku sebuah keinginan yang tak dapat dipenuhi oleh dunia ini, penjelasan yang paling mungkin adalah bahwa aku diciptakan untuk dunia yang lain.”)


Jadi bagaimana menurut pendapat Anda?

Semoga tulisan ini tidak membuat anda menjadi sesat, tetapi hanya sekedar membuka wawasan pikir kita bersama.

📚 Referensi

  1. Feuerbach, Ludwig. The Essence of Christianity. 1841.

  2. Freud, Sigmund. The Future of an Illusion. 1927.

  3. Durkheim, Émile. The Elementary Forms of Religious Life. 1912.

  4. Berger, Peter L. The Sacred Canopy. 1967.

  5. Becker, Ernest. The Denial of Death. 1973.

  6. Lewis, C.S. Mere Christianity. 1952.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar