Suatu pagi saya lewat malioboro, waktu itu hari Selasa dan
saya mendapati Malioboro lengang. Sempat saya tengok arloji saya sudah
menunjukkan pukul 10.30, namun keadaan masih sepi sepi saja. Beberapa polisi
berjaga di depan toko di malioboro, sebuah truk Polisi juga Nampak parkir di
jalur lambat. Pikir saya ada apa ini? Jadi teringat pada jaman jaman reformasi
dahulu. Tetapi yang ini berbeda, lalu
lintas padat merayap, kendaraan tetap berlalu lalang, toko toko semacam
Malioboro mal tetap buka. Yang membuat saya makin yakin bahwa semua aman aman
saja yaitu ketika di gedung DPRD Nampak banyak orang memotret para pengantin
baru yang tergabung dalam acara Nikah Bersama.
Siang itu lorong lorong Malioboro yang biasanya sesak oleh
pedagang kaki lima dan pejalan kaki Nampak lengang, jalur lambat yang biasanya
berderet parkir becak dan andong serta beberapa motor juga nampak sepi sepi
saja. Ada apa gerangan? Setelah saya mencari beberapa info serta
memposting di Facebook maka beberapa teman menyatakan bahwa setiap Selasa Wage
memang pedagang kaki lima libur selama 24 jam untuk melakukan bersih-bersih
lingkungan.
Saya melihat ada beberapa hal yang menarik sehubungan dengan
adanya bersih bersih setiap Selasa Wage ini. Paling tidak kawasan malioboro
akan dibersihkan setiap 35 hari sekali
Pertama, bahwa beban Malioboro baik secara aktivitas, sampah
maupun kebisingan seolah tidak pernah berkurang dari hari ke hari. Tujuh hari
dalam seminggu kawsan tersebut terus menerus “dipakai” dari pagi sampai malam
bahkan mungkin agak larut malam. Dengan adanya libur setiap 35 hari sekali ini
seperti memberi kelegaan bagi trotoir, ia akan merasakan hari yang tanpa beban
dalam seharian penuh. Lantai-lantai bernafas lega karena tidak lagi menanggung
beban sekian puluh atau ratus lapak pedagang kaki lima.
Kedua, dengan adanya libur ini maka ada kesempatan bagi
pedagang untuk melihat tempat kerjanya dengan lebih jernih. Melihat tempat
mereka mencari nafkah dalam keadaan kosong. Artinya mereka juga harus belajar
berintrospeksi. Melihat dengan lebih obyektif, karena selama ini mereka melihat
Malioboro hanya sebuah lokasi untuk menghasilkan uang, tempat dimana mereka
“berperang” seharian guna berburu rupiah. Tidak pernah mereka menghargai
Malioboro sebagai apa adanya. Menghargai Malioboro sebagaimana Malioboro
adanya. Ini yang harus disadari bahwa baik mereka pendatang maupun penduduk
asli harusnya menyadari ini semua. Bukan hanya pedagang kaki lima yang bisa
merenung namun juga para pemilik toko bisa melihat tokonya dengan lebih
seksama, karena selama ini mereka sudah tak bisa lagi melihat tokonya dengan
lebih jernih.
Ketiga, mereka mungkin bisa merencanakan sesuatu event yang
lebih akrab antar sesama “penghuni” Malioboro. Kegiatan yang bukan berbasiskan
bisnis sama sekali. Justru inilah saatnya menjalin relasi diluar kegiatan yang
selama ini mereka lakukan. Membersihkan lokasi bersama-sama adalah salah satu
contoh yang baik dimana mereka bisa menjalin kerjasama demi bersih dan asrinya
Malioboro. Mungkin bisa dipikirkan kegiatan kreatif lainnya yang semakin
membuat mereka merasa memiliki Malioboro. Wedangan bersama, Senam pagi bersama
seluruh penghuni malioboro, bukankah ini sangat menyenangkan dan
menggembirakan?
Keempat, jeda waktu 35 hari dirasa sangat cukup untuk kembali membersihkan lokasi. Dengan
membersihkan secara berkala dalam kondisi lokasi kosong akan menjamin lokasi
terjaga tetap bersih. Tidak perlu menunggu sampai kumuh, namun 35 hari pasti
akan dibersihkan.
Semoga ini berlanjut dan tidak obor obor blarak, karena
ternyata Selasa Wage sendiri mempunyai makna yang mendalam dan bisa tetap
diingat oleh rakyat Jogja