INTERVAL WALKING TRAINING: sederhana, tapi manfaat luarbiasa

 

Interval Walking Training

“Bayangkan ada sebuah cara olahraga sederhana… hanya dengan berjalan kaki… yang bisa membantu Anda membakar lemak lebih cepat, menyehatkan jantung, bahkan meningkatkan fungsi otak. Dan yang menarik, cara ini tidak memerlukan alat mahal, tidak butuh keanggotaan gym, hanya sepatu yang nyaman. Namanya adalah Interval Walking Training.”

Saya membaca artikel tentang IWT ( Interval Walking Training) di sebuah berita online, nampaknya sepele dan tidak meyakinkan sampai saya akhirnya mencoba melakukannya.  Sebagai lelaki tua 58 tahun tentu olah raga menjadi sebuah kebutuhan layaknya makan makanan bergizi dan sehat.  Setidaknya 2 hari sekali dalam seminggu atau 3 kali seminggu saya menyempatkan diri olah raga di pagi hari, mulai jam 06.00 sampai kira-kira 06.45.  Jalanan di Jogja belum terlalu padat namun cukup ngeri ngeri sedap karena pada pagi itu mereka berpacu melawan waktu, antara yang masuk kantor dan mengantar anak-anak ke sekolah. Dan rute saya selalu bersamaan dengan mereka. Maklum saya tinggal di kota yang agak minggir mendekati jalan lingkar selatan.  Olah raga yang saya lakukan adalah jalan santai, kadang saya campur dengan berlari ringan. Ide mencampur lari dan jalan ini saya peroleh dari statement si Felix Zuhendri yang mengatakan bahwa olah raga itu harus sampai terengah-engah. Jadilah saya mengkombinasikan jalan dan lari ringan.   Sampai kemudian saya menemukan ternyata ada metode jalan cepat dan jalan santai yang dikombinasikan sedemikian rupa sehingga memberikan manfaat yang luar biasa kepada tubuh.  Itulah Interval Walking Training.  Namun sesungguhnya saya "iri hati" dengan anak saya yang mengikuti Half Marathon di suatu waktu dan tempat. ha ha ha bolehlah iri untuk hal hal yang positip.

Inilah dia IWT yang saya banggakan ........

Seorang profesor dari Jepang pernah melakukan penelitian panjang tentang jalan kaki dengan metode interval. Caranya sederhana: Anda berjalan cepat selama 3 menit, lalu berjalan santai selama 3 menit. Ulangi pola ini beberapa kali, total sekitar 30 menit.

Hasilnya? Luar biasa. Orang yang rutin melakukannya mengalami peningkatan kebugaran, tekanan darah lebih stabil, kolesterol membaik, bahkan otot-otot tubuh lebih kuat.

Kenapa bisa begitu? Saat kita berjalan cepat, detak jantung meningkat, oksigen lebih banyak dipompa ke seluruh tubuh. Lalu, saat kita melambat, tubuh belajar memulihkan diri. Pola naik-turun inilah yang melatih sistem kardiovaskular agar lebih efisien, mirip seperti latihan interval pada atlet—tapi dengan cara yang jauh lebih ringan dan aman.

Bahkan, penelitian juga menunjukkan interval walking membantu meningkatkan metabolisme tubuh. Artinya, tubuh lebih efisien membakar energi bahkan setelah latihan selesai. Inilah alasan mengapa metode ini sangat cocok untuk orang yang ingin menurunkan berat badan atau menjaga vitalitas di usia 40, 50, bahkan 60 tahun ke atas.

Dan ada satu bonus tambahan: berjalan interval terbukti mampu memperbaiki suasana hati, menurunkan stres, dan meningkatkan fokus. Jadi, bukan hanya tubuh yang sehat, pikiran pun jadi lebih jernih.”

Kesehatan bukan hadiah yang datang begitu saja. Ia adalah hasil dari kebiasaan sederhana yang kita lakukan setiap hari.

Dengan interval walking training, Anda tidak hanya melangkah untuk hari ini, tetapi juga berinvestasi untuk kesehatan jangka panjang.

Jadi, jangan tunda lagi. Kenakan sepatu Anda, keluar rumah, dan mulailah melangkah. Karena setiap langkah kecil yang konsisten… akan membawa perubahan besar.

Olah raga ini bukan saja untuk orang tua 40-60 tahun tetapi juga bermanfaat bagi orang muda, sebagai selingan.

Selamat mencoba


Yogyakarta, agak siang nih sekira jam 07.55. Dikala matahari sudah menghangat


MENYANGKAL DIRI YANG SALAH KAPRAH (renungan Kristiani)




Melihat fakta kejadian di sekitar kita belakangan ini, terlepas dari sudut pandang politik apapun maka para koruptor yang tertangkap oleh KPK maupun Kejaksaan bisa dilihat rekam jejaknya sebelum mereka menajdi tersangka.  Umumnya mereka akan menampakkan penampilan yang seolah-olah tidak menyukai korupsi, selalu melawan korupsi, menganjurkan kepada bawahannya supaya melawan korupsi.  Bahkan ada yang melontarkan ide untuk hukuman mati bagi koruptor.
Namun apa yang mereka lontarkan sebelum tertangkap akan berlawanan kenyataannya dengan setelah mereka ditangkap, setidaknya kita bisa melihat dari bahasa tubuhnya.  
Mereka yang pada mulanya menyangkal tidak pernah korupsi dengan berbagai alasannya: aktif dalam organisasi yang menolak korupsi, orang tuanya terpadang dan bersih dari cela korupsi dan sebagainya. Toh akhirnya pengadilan memutuskan mereka harus masuk bui. Inilah yang saya katakan sebagai salah kaprah penyangkalan diri.


Dalam Markus 14:66-72 kita membaca kisah Petrus yang menyangkal Yesus sebanyak tiga kali. Penyangkalan ini lahir dari rasa takut, lemah iman, dan keinginan untuk menyelamatkan diri. Namun, di balik kejatuhan itu, kita belajar makna penting: betapa mudahnya manusia mengelak dari kebenaran demi kenyamanan dan keselamatan sesaat.

Di zaman kita sekarang, kita sering melihat penyangkalan dalam bentuk lain: para koruptor yang ketika terbukti bersalah justru berkata, “Saya tidak melakukan itu.” Mereka menyangkal perbuatan dosa, padahal bukti-bukti mengungkapkan sebaliknya.

Ketika Yesus berkata, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku” (Markus 8:34), penyangkalan diri yang dimaksud adalah menolak ego, menolak keinginan dosa, menolak jalan pintas demi kepentingan pribadi, lalu memilih taat kepada Allah. Penyangkalan diri berarti:

  • Tidak hidup untuk kemegahan pribadi, melainkan untuk kemuliaan Allah.

  • Tidak mencari keuntungan sesaat, melainkan kesetiaan pada kebenaran.

  • Tidak menyelamatkan diri dengan kebohongan, melainkan berani jujur meskipun konsekuensinya berat.

Sayangnya, makna luhur ini sering diputarbalikkan. Koruptor yang menyangkal dirinya bukanlah dalam arti meninggalkan dosa, melainkan menolak pengakuan atas dosa. Mereka menyangkal kesalahannya demi menjaga kehormatan palsu, kekayaan, atau kuasa. Penyangkalan ini berbeda dengan ajaran Kristus, karena bukan mengosongkan diri dari dosa, melainkan menutupi dosa dengan kebohongan.

Jika Petrus akhirnya menangis dan bertobat setelah sadar akan penyangkalannya, banyak orang pada zaman ini tetap mengeraskan hati, bahkan menikmati “kenikmatan sesaat” dari hasil kejahatan.

Pesan penting bagi kita, baiklah kita :.....

Jujur pada diri sendiri dan Allah. Jangan menutupi dosa dengan kebohongan. Mengaku salah di hadapan Tuhan adalah awal dari pemulihan.

Belajar dari Petrus. Ia jatuh, tapi tidak berhenti di kejatuhan. Ia menyesal dan kembali dipakai Tuhan untuk pelayanan yang besar.

Penyangkalan diri yang benar. Bukan menyangkal kesalahan, tetapi menyangkal ego yang mendorong kita pada dosa. Inilah panggilan murid Kristus sejati.

Sebagai penutup saya mengajak saudara berhati-hati agar tidak jatuh pada penyangkalan yang salah kaprah. Koruptor menyangkal demi melindungi diri dari kebenaran. Tetapi murid Kristus dipanggil menyangkal diri demi hidup di dalam kebenaran.

Kiranya kita berani berkata: “Lebih baik aku rugi di dunia, asalkan aku tetap hidup benar di hadapan Allah.” Karena pada akhirnya, penyangkalan diri yang sejati akan membawa kita pada kehidupan kekal.


Yogyakarta, pagi sejuk di 7 September 2025



KITAB SUCI DAN AKTUALISASINYA PADA MASA KINI

 Kitab suci bagi banyak umat beragama diyakini sebagai firman yang abadi. Namun, abadi bukan berarti statis. Justru karena keabadiannya, kitab suci harus bisa berbicara dalam setiap zaman, pada setiap konteks, dan kepada setiap manusia yang hidup dalam pergumulan berbeda. 

Betapa semakin banyak anak-anak muda yang meninggalkan kitab suci hanya karena alasan bahasa yang sulit, apalagi konteks zaman yang jauh berbeda, terpaut sampai ribuan tahun menyebabkan generasi z ini juga semakin sulit untuk memahaminya

Tidak jarang kitab suci dibaca hanya dengan kacamata lama, seakan maknanya berhenti di masa lalu. Tafsir menjadi beku, tidak lagi menjiwai kehidupan, bahkan kadang terasa asing dengan realitas zaman modern. Di sinilah pentingnya aktualisasi tafsir—sebuah upaya kreatif dan reflektif untuk menafsirkan ayat-ayat agar senantiasa relevan.

Lalu upaya apa yang bisa dilakukan untuk merespon hal-hal tersebut?

Saya mengusulkan ada 3 hal yang perlu dilakukan agar ayat-ayat suci itu tetap aktual di zaman yang semakin berlari ini:

Tafsir yang Dinamis

Aktualisasi tafsir bukan berarti mengubah firman, melainkan menemukan kembali makna sesuai konteks baru. Misalnya, pesan tentang keadilan dalam kitab suci harus terus dipertanyakan: bagaimana keadilan ditegakkan di era digital? Bagaimana menghadapi ketidakadilan ekonomi global? Sangat baik jika dilakukan dalam kelompok kelompok kajian yang inovatif. Misal dalam agama Kristen dalam kelompok Pemahaman Alkitab. Sebaiknya Pemahaman Alkitab tidak berhenti pada menceritakan masa lalu  dan jauh dari zaman sekarang. Menghapal berapa anak Abraham, berapa lama Yunus berapa di dalam perut ikan, apa negeri yang dijanjikan Tuhan untuk Abraham itu baik semua tetapi jangan berhenti pada itu saja. Apa aktualisasi dan apa yang perlu kita lakukan dalam konteks zaman sekarang ini. Mungkin saja bisa terjadi perdebatan seru dalam diskusi itu, tetapi tidak masalah karena kita masih punya pijakan yang sama.

Menyapa Ilmu Pengetahuan dan Budaya

Kitab suci tidak hidup dalam ruang hampa. Dialog dengan ilmu pengetahuan, filsafat, politik, bahkan teknologi, menjadi kunci agar ayat-ayat suci tidak terasing dari kenyataan. Tafsir yang diperbarui mampu menjawab isu kesehatan mental, perubahan iklim, sampai etika penggunaan AI. Menurut saya janganlah mencari kecocokan atau sekedar dicocok-cocokan dengan ilmu pengetahuan ayat ayat di kitab suci kalau memang tidak bersesuaian. Upaya mencocokan ilmu pengetahuan dengan kitab suci yang terlalu memaksakan diri akan membuat orang-orang semakin skeptis dan tidak yakin akan kebenaran di kitab Suci.

Spiritualitas yang Menggerakkan

Pada akhirnya kitab suci harus mempunyai dampak terhadap dunia melalui umat-Nya. Ayat ayat hanya tinggal sebagai tulisan belaka jika tidak diwujudkan dalam tindakan nyata. Aktualisasi tafsir tidak berhenti pada wacana. Ia harus berbuah dalam tindakan nyata: solidaritas sosial, kepedulian lingkungan, kejujuran dalam pekerjaan, dan kasih dalam relasi. Tafsir yang hidup adalah tafsir yang mengubah perilaku dan memberi cahaya pada kehidupan bersama.

Aktualisasi ayat-ayat kitab suci adalah panggilan untuk menjadikan teks ilahi sebagai sumber inspirasi yang tidak pernah usang. Dengan tafsir yang selalu diperbarui, kitab suci tetap menjadi kompas yang menuntun manusia—dari zaman kuno hingga era digital.

TUHAN MASUK DALAM LEMBAGA KEAGAMAAN

 Kita tidak memiliki jawaban atas pertanyaan " Apakah agama Tuhan" karena memang sulit menjawabnya. Tetapi tentu ada sebuah perjalanan yang panjang sejak dimulainya manusia mengenal Tuhan sampai Tuhan "masuk" ke dalam lembaga keagamaan.  Mari kita melihat perjalanannya:

  Zaman Prasejarah (±100.000 – 10.000 SM)

  • Animisme & Totemisme
    Manusia purba merasakan "roh" dalam alam (gunung, sungai, hewan).

  • Tuhan belum dilembagakan, hanya ada rasa kagum & takut pada kekuatan gaib.


🔹 Zaman Pertanian & Peradaban Awal (±10.000 – 3.000 SM)

  • Revolusi Pertanian melahirkan desa & kota.

  • Muncul dewa-dewa kesuburan dan ritual kolektif.

  • Tuhan dilembagakan lewat ritual musiman (panen, hujan).

  • Contoh: Dewa Matahari Mesir, Dewa Kesuburan Mesopotamia (Inanna/Ishtar).


🔹 Zaman Negara-Kota & Kerajaan Awal (±3.000 – 500 SM)

  • Agama jadi bagian dari struktur politik.

  • Raja dianggap wakil Tuhan / anak dewa.

  • Tuhan dilembagakan melalui kuil megah, imam resmi, hukum ilahi.

  • Contoh:

    • Mesir Kuno (Amon-Ra sebagai dewa tertinggi).

    • Sumeria (Enlil, Anu, Marduk).

    • Babilonia (Hammurabi mengklaim hukum berasal dari dewa).


🔹 Era Agama-Etika & Monoteisme (±1200 – 500 SM)

  • Israel kuno: Yahweh dilembagakan dalam Torah & Hukum Musa, pusat pada identitas bangsa.

  • Zarathustra (Iran): ajaran monoteisme moral Ahura Mazda.

  • Hinduisme awal & Buddha (India): pengalaman spiritual dilembagakan dalam sistem kasta & sangha.

  • Konfusianisme & Taoisme (China): nilai etika & kosmos disusun dalam ajaran filosofis & ritual negara.


🔹 Era Agama-Agama Besar Dunia (±0 – 700 M)

  • Kekristenan: Yesus membawa pengalaman rohani → dilembagakan menjadi Gereja dengan dogma & konsili.

  • Islam: Wahyu Nabi Muhammad → dilembagakan dalam syariat & kekhalifahan.

  • Agama Buddha & Hindu: berkembang jadi institusi global, punya kuil & struktur kependetaan.


🔹 Abad Pertengahan (500 – 1500 M)

  • Agama menjadi otoritas politik & hukum.

  • Gereja Katolik, Kekhalifahan Islam, Hindu-Buddha di Asia Tenggara: semua menjadikan Tuhan sebagai dasar legitimasi kekuasaan.

  • Tuhan dilembagakan dalam teologi resmi & institusi pendidikan (madrasah, seminari, universitas gereja).


🔹 Era Modern (1500 – 1900 M)

  • Reformasi Protestan: kritik pada lembaga agama Katolik, tetapi tetap membentuk lembaga baru.

  • Pencerahan Eropa: Tuhan mulai dipandang sebagai ide filsafat (Deisme), tidak hanya institusi agama.

  • Kolonialisme: agama dilembagakan sebagai alat ekspansi politik & misi.


🔹 Era Kontemporer (1900 – Sekarang)

  • Agama tetap ada sebagai institusi global (Gereja, Majelis Ulama, Vatikan, dsb.).

  • Namun, spiritualitas personal kembali menonjol (New Age, mindfulness, ateisme spiritual).

  • Tuhan kini diperdebatkan:

    • Sebagai realitas transenden di atas agama.

    • Atau sekadar institusi budaya & sosial.


BANGSA KITA TIDAK SUKA MEMBACA?

Lebih suka gawai

 Coba saja tanyakan kepada teman Anda, buku atau bacaan apa yang sedang mereka baca dalam satu minggu atau satu bulan ini? Tentu jawabannya bisa beragam, tetapi saya menduga banyak yang menjawab "Saya tidak membaca apa-apa, karena melihat youtube labih menarik dibandingkan membaca buku".  Kita tidak bisa memaksa seseorang untuk menyenangi sesuatu, termasuk membaca. Sebab otak kita hanya menyenangi sesuatu hal yang ingin ia senangi. Jadi memang sulit membangkitkan membaca pada orang yang pada dasarnya tidak suka membaca.

Meskipun secara statistik negeri ini mengalami pertumbuhan dalam hal minat baca pada tahun 2024 namun itu pun masih tergolong sedang, belum bisa masuk pada kategori tinggi. Tidak mengapa, sepanjang memang ada trend kenaikan. Mari kita lihat data nya 

Statistik TGM ( Tingkat Kegemaran membaca ) Nasional (Tahun 2021–2024)

  • 2021: Skor TGM sebesar 59,52 (kategori sedang) 

  • 2022: Meningkat menjadi 63,90 (kategori tinggi)

  • 2023: Terus naik menjadi 66,77 (kategori tinggi)

  • 2024: Skor terbaru menunjukkan 72,44, tetapi meski lebih tinggi, masih masuk dalam kategori sedang (rentang skor 50,1–75)

Tren ini menunjukkan adanya peningkatan konsisten dalam minat baca masyarakat

Ada tambahan data dari UNESCO yang demikian :

Angka dari UNESCO menggambarkan gambaran historis terkait budaya membaca—dengan tingkat yang sangat rendah—sedangkan data BPS dan TGM Perpusnas menunjukkan tren perbaikan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Lalu apa sebenarnya kesulitan yang dihadapi dari orang orang yang tidak suka membaca padahal ketersediaan buku bacaan sudah semakin mudah dari tahun ke tahun. Dimana membaca sudah tidak lagi harus membeli buku karena adanya kemudahan-kemudahan sebagai berikut:

  • Digitalisasi: Saat ini ada banyak aplikasi baca (Gramedia Digital, iPusnas, Google Books), plus ebook gratis dari pemerintah.

  • Perpustakaan: Jumlah perpustakaan meningkat, bahkan di desa (Perpusdes, Taman Bacaan Masyarakat).

  • Buku Murah: Buku bajakan (meski ilegal) membuat bacaan jadi lebih murah.

👉 Artinya, secara fisik maupun digital, bahan bacaan jauh lebih mudah diakses daripada 10–20 tahun lalu.

Dari seluruh propinsi di Indonesia ternyata Yogyakarta punya angka yang cukup tinggi dalam hal minat baca yaitu 73,27 pada tahun 2023. Itupun saya duga didominasi oleh para mahasiswa yang belajar di Yogyakarta dan mungkin bisa jadi bukan penduduk asli Yogyakarta hahaha...

Ada beberapa faktor yang layak dipertimbangkan sehingga membuat minat baca rendah, antara lain :

  1. Budaya & Kebiasaan

    • Membaca belum jadi tradisi keluarga maupun komunitas.

    • Anak lebih sering dikenalkan pada gawai hiburan (YouTube, TikTok, game) dibanding buku.

  2. Motivasi & Relevansi

    • Banyak orang merasa membaca buku tidak praktis dibanding menonton video atau mendengar podcast.

    • Materi bacaan kadang tidak sesuai kebutuhan (misalnya terlalu akademis).

  3. Keterampilan Literasi

    • Hasil PISA 2022: Indonesia peringkat 62 dari 81 negara dalam literasi membaca. Artinya, kemampuan memahami bacaan rendah.

    • Jika membaca terasa sulit, maka akses buku sekalipun tidak cukup menarik.

  4. Ekonomi & Sosial

    • Harga buku relatif mahal dibanding daya beli sebagian besar masyarakat.

    • Waktu luang untuk membaca juga terbatas (lebih banyak digunakan untuk bekerja atau aktivitas produktif).

Ada tips kecil yang bisa dipakai sehingga minat baca meningkat, tetapi tidak serta merta dapat terjadi dalam 1 atau 2 tahun sebab ini menyangkut proses:

Biasakanlah membaca sejak kecil, ini juga meminta kesediaan dan kesadaran orang tua agar menyediakan buku buku bacaan berkaualitas. Buku bacaan sederhana yang penuh gambar dan berwarna seringkali menjadi awal yang menimbulkan kecintaan anak pada bacaan. Saya mengalaminya sendiri.

Pilihlah bacaan yang relevan dan menarik. Untuk anak-anak berikan buku buku sederhana mengenal hewan, tumbuhan, macam-macam warna, macam macam huruf, kisah kisah fabel dan sebagainya. Bagi orang dewasa sesuaikan dengan bidang pekerjaan atau minat Anda. Sehingga memperluas wawasan.

Jadikan membaca aktivitas sosial—diskusi buku, book club, atau konten review di media sosial. Bacalah kemudia buatlah ringkasan bacaan nya dan sajikan dalam bentuk konten yang menarik di media-media sosial. Bisa jadi sebagai alternatif tambahan penghasilan dengan menjadi konten kreator yang menjual buku sebagai afiliate.

Semoga tulisan ini memberi sedikit pencerahan kepada pembaca tentang pentingnya literasi

Novel Animal Farm, relevan kah untuk negeri kita?

Animal Farm

Buku Animal Farm sangat menarik saya, sekalipun buku ini sudah lama terbitnya. tetapi ternyata membaca kisah-kisah binatang ini begitu menarik. Seolah merepresentasikan kita sebagai manusia. Utamanya saya sebagai manusia yang hidup di negeri Indonesia ini. Setelah membaca secara menyeluruh Novel ini saya sungguh tertarik membuat tulisan kecil sebagai hadiah saya untuk negeri tercinta saya Indonesia. Semoga catatan ini mampu untuk menjadi cermin bagi kita anak bangsa Indonesia. Dan sungguh buku ini kalau dibaca baik baik akan menyadarkan kita untuk segera berubah.

Dirgahayu Indonesia ke 80

 1. Kekuasaan Cenderung Korup jika Tanpa Kontrol

  • Dalam Animal Farm, babi yang awalnya memimpin untuk kemerdekaan justru berubah menjadi penindas baru.

  • Relevansi di Indonesia: Tanpa sistem checks and balances yang kuat, pemimpin atau partai politik bisa tergoda menyalahgunakan wewenang demi kepentingan kelompoknya.


2. Propaganda Dapat Membentuk Persepsi Publik

  • Napoleon memakai Squealer untuk memutarbalikkan fakta dan mengubah sejarah.

  • Relevansi di Indonesia: Media dan buzzer politik bisa digunakan untuk mengarahkan opini publik, sehingga masyarakat menerima kebijakan yang merugikan seolah-olah itu demi kebaikan bersama.


3. Perubahan Aturan untuk Kepentingan Penguasa

  • Prinsip Animalism diubah sedikit demi sedikit hingga maknanya bertentangan dengan tujuan awal.

  • Relevansi di Indonesia: Aturan hukum atau kebijakan bisa direvisi untuk menguntungkan elite politik atau kelompok tertentu, sementara rakyat sulit mengawasi perubahan halus tersebut.


4. Revolusi Tanpa Kesadaran Kritis akan Gagal

  • Hewan-hewan di Animal Farm hanya mengikuti perintah tanpa terus mengkritisi kebijakan, sehingga tidak menyadari bahwa mereka diperalat.

  • Relevansi di Indonesia: Partisipasi rakyat dalam demokrasi harus disertai dengan kesadaran kritis, bukan hanya ikut-ikutan atau terjebak fanatisme politik.


5. Bahaya Elite Capture (Penguasaan oleh Segelintir Elite)

  • Kekuasaan yang awalnya untuk semua hewan akhirnya terkonsentrasi pada babi dan anjing.

  • Relevansi di Indonesia: Oligarki politik dan ekonomi dapat menguasai sumber daya negara, sehingga kebijakan lebih berpihak pada kepentingan elite daripada rakyat.


6. Identitas Pemimpin Bisa Berubah

  • Di akhir cerita, babi dan manusia sulit dibedakan.

  • Relevansi di Indonesia: Pemimpin yang awalnya mengaku “pro rakyat” bisa saja berubah perilakunya setelah masuk ke lingkaran kekuasaan, sehingga tidak berbeda dengan pihak yang dulu dikritiknya.

WAHYU ILLAHI VS IMAJINASI MANUSIA, BAGAIMANA MEMBEDAKANNYA?

 


Masih melanjutkan tulisan sebelumnya tentang wahyu Illahi dan Imajinasi manusia. Seringkali kita menemukan bahwa katanya wahyu Illahi itu punya konsistensi tersendiri melintas zaman. tetapi mungkin juga itu berasal dari narasi yang dibuat oleh manusia sendiri? Benarkah demikian, mari kita telusuri jejak nya hahahaha...

Membedakan Wahyu Ilahi dan Imajinasi Manusia: Tinjauan Sains dan Filsafat

Sejak ribuan tahun lalu, manusia telah mengklaim menerima pesan dari “kekuatan yang lebih tinggi”. Dalam agama-agama besar, pesan ini dikenal sebagai wahyu ilahi—suatu komunikasi langsung dari Tuhan kepada manusia. Namun, sepanjang sejarah, kita juga mengetahui betapa kuatnya imajinasi manusia dalam menciptakan narasi, visi, dan gambaran yang terasa begitu nyata. Pertanyaannya: Bagaimana kita membedakan antara wahyu yang benar-benar ilahi dan imajinasi manusia yang subyektif?

Tulisan ini mencoba melihat persoalan tersebut dari dua kacamata: sains dan filsafat.


1. Perspektif Sains

Ilmu pengetahuan, khususnya neurosains dan psikologi kognitif, memandang pengalaman “mendapat wahyu” sebagai fenomena yang terjadi di dalam otak manusia.

a. Aktivitas Otak dan Persepsi Spiritual

Penelitian neurotheology oleh Andrew Newberg (2009) menunjukkan bahwa pengalaman religius sering kali terkait dengan perubahan aktivitas di lobus parietal dan lobus frontal otak.

  • Lobus parietal: berkurangnya aktivitas di bagian ini dapat membuat batas antara diri dan lingkungan terasa kabur, sehingga seseorang merasa “bersatu” dengan sesuatu yang lebih besar.

  • Lobus frontal: peningkatan aktivitas dapat menimbulkan rasa fokus yang intens, memperkuat keyakinan bahwa pesan yang diterima sangat penting.

Fenomena ini bisa terjadi saat meditasi, doa mendalam, bahkan dalam kondisi stres ekstrem. Dari kacamata sains, pengalaman tersebut tidak otomatis membuktikan bahwa sumbernya benar-benar berasal dari luar diri manusia.

b. Efek Halusinasi dan Mimpi

Halusinasi—baik karena kurang tidur, kelaparan, trauma, atau penyakit tertentu—dapat memunculkan suara atau penglihatan yang bagi penderitanya terasa nyata. Misalnya, studi oleh Oliver Sacks dalam Hallucinations (2012) menjelaskan bagaimana otak dapat menciptakan sensasi visual atau auditif yang sangat meyakinkan tanpa input eksternal.
Bahkan, tokoh-tokoh sejarah yang mengaku mendapat wahyu mungkin mengalami fenomena ini, meski keyakinan mereka tetap tulus.


2. Perspektif Filsafat

Filsafat tidak hanya menyoal bagaimana wahyu terjadi, tetapi juga bagaimana kita menilai kebenarannya.

a. Epistemologi: Bagaimana Mengetahui Sesuatu Itu Benar?

Seorang filsuf seperti Immanuel Kant menekankan bahwa pengetahuan manusia dibatasi oleh struktur pikiran dan pengalaman. Artinya, kita tidak pernah mengakses “realitas mutlak” secara langsung; kita hanya memahami melalui filter mental kita.
Jika demikian, klaim wahyu perlu diuji melalui:

  1. Koherensi internal: Apakah isi wahyu itu bebas dari kontradiksi?

  2. Konsistensi eksternal: Apakah sesuai dengan fakta yang dapat diverifikasi?

  3. Manfaat praktis: Apakah pesan tersebut memberi kontribusi positif terhadap kehidupan?

b. Hermeneutika: Tafsir dan Makna

Filsafat hermeneutika, seperti dijelaskan Hans-Georg Gadamer, mengingatkan kita bahwa setiap teks atau pesan ilahi dipahami melalui lensa budaya dan bahasa penerimanya. Bahkan jika suatu pesan benar-benar berasal dari Tuhan, pemahamannya akan selalu bercampur dengan konteks manusia. Inilah yang membuat perbedaan tafsir antar kelompok dan zaman.


3. Perbedaan Kunci Menurut Pendekatan Gabungan

Menggabungkan sains dan filsafat, kita bisa mengidentifikasi beberapa perbedaan penting:

AspekWahyu Ilahi (dari perspektif teologi)Imajinasi Manusia (dari perspektif sains)
SumberTransenden, berasal dari TuhanInternal, berasal dari pikiran manusia
KonsistensiCenderung konsisten lintas generasi (menurut pemeluknya)Rentan berubah sesuai budaya, emosi, dan pengalaman
DampakMengubah arah hidup, menginspirasi komunitas besarDapat memotivasi individu, tapi sering lebih personal
VerifikasiBergantung pada iman dan kesaksian sejarahDapat diuji melalui metode ilmiah atau psikologi
Pengalaman subjektifRasa keterhubungan dengan kekuatan ilahiRasa kreatif atau mimpi yang intens

4. Mengapa Perbedaan Ini Penting?

Memahami batas antara wahyu dan imajinasi membantu kita:

  • Menghargai pengalaman spiritual tanpa menelan mentah-mentah semua klaim.

  • Menghindari manipulasi yang mengatasnamakan wahyu demi kepentingan tertentu.

  • Mendorong dialog antara iman dan ilmu, bukan pertentangan.


Penutup

Bagi yang beriman, wahyu adalah kebenaran mutlak. Bagi ilmuwan, wahyu adalah fenomena kognitif yang layak dipelajari. Keduanya dapat berdampingan jika kita menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang mencari makna—baik melalui keheningan doa maupun melalui penelitian laboratorium.
Pada akhirnya, mungkin yang lebih penting bukanlah apakah pesan itu “datang dari langit” atau “lahir dari pikiran”, tetapi bagaimana pesan itu membentuk kita menjadi manusia yang lebih bijaksana dan penuh kasih.

Semoga pemikiran ini semakin memantapkan langkah kita masing-masing dalam menjalani kehidupan di planet bumi ini. Salam


Rujukan:

  • Newberg, A., & Waldman, M. R. (2009). How God Changes Your Brain. Ballantine Books.

  • Sacks, O. (2012). Hallucinations. Alfred A. Knopf.

  • Kant, I. (1781). Critique of Pure Reason.

  • Gadamer, H.-G. (1960). Truth and Method.


HIDUP KEKAL, PEWAHYUAN ATAU IMAJINASI MANUSIA


 Pernahkah terlintas di pikiran anda soal konsep hidup kekal yang hampir selalu ada di setiap agama-agama mainstream. Saya pernah berpikir apakah sebenarnya konsep hidup kekal ini sebenarnya adalah sebuah keserakahan manusia yang setelah merasakan enak di dunia lantas ia kepengen enak juga di surga sana? lalu diciptakanlah berbagai narasi tentang hidup kekal itu. 

Mari kita telusuri jejak sejarahnya haha....


1️⃣ Jejak dalam Filsafat: Tuhan sebagai Proyeksi Keinginan Manusia

Salah satu tokoh paling terkenal yang mengajukan teori ini adalah Ludwig Feuerbach. Dalam bukunya The Essence of Christianity (1841), ia menulis:

"Theology is anthropology: the divine being is nothing else than the human being, or rather, the human nature purified, freed from the limits of the individual, made objective."
(“Teologi adalah antropologi: keberadaan ilahi tidak lain adalah keberadaan manusia, atau tepatnya, sifat manusia yang dimurnikan, dibebaskan dari batas-batas individu, dan diobjektifkan.”)

Feuerbach berargumen bahwa konsep Tuhan, termasuk janji kehidupan kekal, adalah cerminan keinginan terdalam manusia—terutama keinginan untuk mengalahkan kematian.

Pemikiran ini kemudian memengaruhi Karl Marx dan Friedrich Nietzsche. Nietzsche dalam Thus Spoke Zarathustra bahkan menuduh agama sebagai "penghibur" yang menghalangi manusia menghadapi kenyataan hidup.


2️⃣ Perspektif Freud: Agama sebagai Ilusi Psikologis

Sigmund Freud dalam The Future of an Illusion (1927) memandang agama sebagai mekanisme psikologis untuk mengatasi rasa cemas terhadap dunia dan kematian:

"Religion is comparable to a childhood neurosis."
(“Agama dapat dibandingkan dengan neurosis masa kanak-kanak.”)

Menurut Freud, janji kehidupan kekal hanyalah ilusi kolektif—sebuah dongeng dewasa—yang memberi rasa aman, sama seperti anak kecil merasa aman saat memeluk ibunya.


3️⃣ Fungsi Sosial Menurut Sosiologi Agama

Émile Durkheim dalam The Elementary Forms of Religious Life (1912) menegaskan bahwa agama berfungsi menjaga keteraturan sosial.
Konsep kehidupan kekal bukan hanya untuk memberi harapan, tetapi juga membentuk moral kolektif. Surga memberi insentif bagi perilaku baik, neraka memberi sanksi atas perilaku buruk.

Sementara itu, Peter L. Berger dalam The Sacred Canopy (1967) menjelaskan bahwa agama menciptakan "kanopi sakral"—payung makna yang melindungi manusia dari kekacauan eksistensial. Kehidupan kekal menjadi bagian dari narasi kosmik yang memberi makna pada kelahiran, penderitaan, dan kematian.


4️⃣ Psikologi Eksistensial: Menolak Kematian

Ernest Becker, peraih Pulitzer melalui bukunya The Denial of Death (1973), berargumen bahwa hampir semua pencapaian budaya manusia adalah strategi untuk melawan kesadaran akan kematian.
Ia menulis:

"The idea of death, the fear of it, haunts the human animal like nothing else; it is a mainspring of human activity—designed largely to avoid the fatality of death, to overcome it by denying it in some way."

Kehidupan kekal, dalam pandangan ini, adalah bentuk penyangkalan terhadap kefanaan. Ia memberi manusia ilusi bahwa dirinya akan terus ada, entah di surga, dalam bentuk reinkarnasi, atau diingat selamanya oleh keturunan.


5️⃣ Refleksi: Antara Imajinasi dan Keyakinan

Dari semua perspektif ini, hipotesa bahwa konsep kehidupan kekal lahir dari imajinasi manusia memiliki dasar ilmiah dan filosofis yang kuat.
Namun, argumen dari sisi iman akan berkata:
Kerinduan universal akan keabadian justru bukti bahwa manusia memang diciptakan untuk sesuatu yang abadi.

C.S. Lewis, dalam Mere Christianity, menulis:

"If I find in myself a desire which no experience in this world can satisfy, the most probable explanation is that I was made for another world."
(“Jika aku menemukan dalam diriku sebuah keinginan yang tak dapat dipenuhi oleh dunia ini, penjelasan yang paling mungkin adalah bahwa aku diciptakan untuk dunia yang lain.”)


Jadi bagaimana menurut pendapat Anda?

Semoga tulisan ini tidak membuat anda menjadi sesat, tetapi hanya sekedar membuka wawasan pikir kita bersama.

📚 Referensi

  1. Feuerbach, Ludwig. The Essence of Christianity. 1841.

  2. Freud, Sigmund. The Future of an Illusion. 1927.

  3. Durkheim, Émile. The Elementary Forms of Religious Life. 1912.

  4. Berger, Peter L. The Sacred Canopy. 1967.

  5. Becker, Ernest. The Denial of Death. 1973.

  6. Lewis, C.S. Mere Christianity. 1952.

ASAL-USUL AGAMA MANUSIA - SEBUAH RINGKASAN

 


Para antropolog, arkeolog, dan ahli evolusi berpendapat bahwa agama atau kepercayaan bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba, melainkan berkembang secara bertahap seiring kemampuan kognitif manusia berevolusi.

1. Latar Belakang Evolusi Kognitif

Sekitar 50.000–70.000 tahun lalu, manusia modern (Homo sapiens) mengalami revolusi kognitif:

  • Otak, khususnya neocortex, berkembang sehingga mampu membayangkan hal-hal yang tidak langsung terlihat (imajinasi, simbol, mitos).

  • Muncul teori pikiran (theory of mind), yaitu kemampuan membayangkan apa yang ada dalam pikiran orang lain — termasuk membayangkan keberadaan makhluk tak terlihat.

Kemampuan inilah yang menjadi fondasi awal munculnya konsep roh, dewa, atau kekuatan adikodrati.


2. Pengaruh Lingkungan dan Alam

Manusia prasejarah hidup dalam lingkungan yang penuh ketidakpastian: badai, gunung meletus, kematian mendadak, wabah, kekeringan.

  • Fenomena ini sulit dijelaskan secara logis saat itu, sehingga mereka mengaitkannya dengan kehendak kekuatan gaib.

  • Hal ini memunculkan animisme — keyakinan bahwa benda, hewan, dan alam memiliki roh.


3. Peran Kesadaran akan Kematian

Sekitar 100.000 tahun lalu, bukti arkeologis menunjukkan manusia mulai menguburkan jenazah dengan benda bekal kubur (misalnya di Gua Qafzeh, Israel).

  • Ini mengindikasikan adanya keyakinan akan kehidupan setelah mati.

  • Kesadaran bahwa semua manusia akan mati memicu pencarian makna dan penjelasan tentang “ke mana” seseorang pergi setelah meninggal.


4. Fungsi Sosial Agama Awal

Penelitian sosiologi dan antropologi menunjukkan agama berperan sebagai perekat sosial:

  • Menetapkan norma moral untuk mengatur perilaku dalam kelompok.

  • Memperkuat kerja sama antarindividu yang tidak memiliki hubungan darah.

  • Mengurangi konflik internal dengan aturan yang dianggap berasal dari “otoritas tertinggi” (Tuhan, leluhur, roh pelindung).


5. Transformasi Menjadi Sistem Kepercayaan Kompleks

Seiring berkembangnya bahasa dan simbol:

  • Cerita-cerita lisan tentang penciptaan, leluhur, dan pahlawan mulai disampaikan lintas generasi.

  • Upacara dan ritual menjadi terstruktur, melibatkan pemimpin spiritual (dukun, pendeta, imam).

  • Dari animisme, berkembang menjadi politeisme (banyak dewa) lalu di beberapa budaya menjadi monoteisme (satu Tuhan).



Agama muncul dari kombinasi evolusi kognitif, pengalaman emosional manusia (takut, kagum, kehilangan), dan kebutuhan sosial untuk keteraturan.

Prosesnya berlangsung ribuan tahun, bermula dari upaya menjelaskan alam dan kematian, hingga menjadi sistem keyakinan yang kompleks seperti yang kita kenal sekarang.

Perkembangan agama-agama manusia

Pernahkah kita bertanya-tanya dari mana asal muasal agama-agama di dunia ini yang sekarang sudah banyak sekali. Tentu ini menarik untuk dibicarakan karena justru agama agama itu sendiri yang sering menimbulkan konflik antar umat manusia. Seakan jauh dari tujuan Tuhan yang mereka sembah.
Semoga garis waktu ini membantu kita semua berpikir secara utuh tentang asal usul agama-agama manusia di planet bumi ini. Tentu ini hanya sebuah gambaran kasar sekali.

Garis Waktu Perkembangan Agama Manusia

Periode & Perkiraan TahunPeristiwa / Tahap UtamaCiri & Bukti Arkeologis

>100.000 SM (Paleolitikum Awal)
Pemikiran spiritual paling awal

Ditemukannya penguburan mayat yang disertai barang bekal (misalnya di Gua Qafzeh, Israel). Menunjukkan keyakinan akan kehidupan setelah mati.
70.000 – 50.000 SMMunculnya simbolisme & ritual awalLukisan gua (misal di Blombos, Afrika Selatan) dan patung kecil seperti Venus figurines menandakan adanya pemujaan kesuburan.
40.000 – 10.000 SM (Paleolitikum Akhir)Animisme & TotemismeKepercayaan bahwa roh ada di alam (gunung, pohon, hewan). Banyak ditemukan artefak totem dan lukisan hewan di gua-gua Eropa (misal Lascaux, Perancis).
10.000 – 4.000 SM (Neolitikum)Agama pertanianRevolusi pertanian memunculkan ritual untuk kesuburan tanah, dewi bumi, dan pemujaan musim. Contoh: situs Göbekli Tepe (Turki) yang diduga pusat ritual.
3.500 – 2.000 SM (Zaman Perunggu Awal)Agama terstruktur pertamaMuncul di Mesopotamia (Sumeria), Mesir, dan Lembah Indus. Ada kuil, imam, dan sistem mitologi. Dewa-dewi memiliki fungsi tertentu (pencipta, perang, kesuburan).
2.000 – 1.000 SMAgama politeistik besarMesir Kuno (Ra, Osiris), Yunani (Zeus), India (dewa-dewi Weda), dan Tiongkok (Shangdi, pemujaan leluhur).
1.200 – 500 SMRevolusi spiritual global (Axial Age)Muncul tokoh dan ajaran besar: Musa (Yahudi), Zoroaster (Persia), Konfusius & Laozi (Tiongkok), Buddha (India), Mahavira (Jainisme), filsuf Yunani (Socrates, Plato).
0 – 600 MEra penyebaran agama besarKekristenan lahir (Yesus, abad 1 M), berkembang di Romawi. Hindu dan Buddha menyebar ke Asia Tenggara. Islam muncul (Muhammad, abad 7 M).
600 – 1500 MDominasi agama duniaPerang salib, penyebaran Islam ke Afrika dan Asia, perkembangan Hindu-Buddha di Asia. Gereja Katolik berkuasa di Eropa.
1500 – 1800 MReformasi & misi globalReformasi Protestan, Katolik melakukan misi ke Amerika, Asia, dan Afrika. Kolonialisme ikut menyebarkan agama Barat.
1800 – 2000 MKritik & pluralisme agamaPencerahan Eropa memunculkan kritik terhadap dogma. Muncul studi ilmiah agama dan gerakan keagamaan baru.
2000 M – SekarangGlobalisasi & dialog lintas agamaMedia dan migrasi membuat interaksi antaragama meningkat. Muncul tren spiritualitas non-agama (spiritual but not religious).

Konsep Tuhan dari waktu ke waktu

 Pemahaman manusia akan Tuhan atau konsep manusia tentang Tuhan berkembang seiring kemampuan pikiran manusia itu sendiri. 

Konsep Tuhan—atau gagasan tentang kekuatan adikodrati yang mencipta, mengatur, dan memengaruhi dunia—tidak muncul sekaligus, melainkan berkembang bertahap selama puluhan ribu tahun. Berdasarkan temuan arkeologi, antropologi, dan studi sejarah agama, garis besarnya seperti ini:


1. Masa Pra-Sejarah (± 300.000 – 40.000 tahun lalu)

  • Manusia awal (Homo sapiens awal) sudah memiliki kesadaran akan kematian dan alam, terlihat dari penguburan mayat dengan benda-benda bekal (misalnya di situs Qafzeh, Israel, ±100.000 tahun lalu).

  • Hal ini menunjukkan adanya kepercayaan akan kehidupan setelah mati, walau belum ada konsep Tuhan personal.

  • Kepercayaan pada roh leluhur dan kekuatan alam (animisme) kemungkinan besar muncul di periode ini.


2. Masa Paleolitik Akhir (± 40.000 – 10.000 SM)

  • Lukisan gua (misalnya di Lascaux, Prancis) menampilkan binatang dan figur setengah manusia, setengah hewan (therianthrope), yang diyakini sebagai shaman atau roh pelindung.

  • Mulai muncul kepercayaan pada makhluk adikodrati yang punya kekuatan mengendalikan hujan, kesuburan, dan perburuan.

  • Belum ada Tuhan tunggal—lebih ke sistem politeisme primitif atau roh-roh spesifik.


3. Revolusi Neolitik (± 10.000 – 3.000 SM)

  • Pertanian dan kehidupan menetap memunculkan dewa-dewi kesuburan (misalnya figur “Venus” dari tanah liat di Anatolia dan Eropa Timur).

  • Struktur sosial yang lebih kompleks memunculkan panteon dewa—masing-masing mengatur matahari, hujan, perang, dll.

  • Contoh: Dewa Mesopotamia seperti Enlil, Ishtar, Anu.


4. Awal Konsep Tuhan Tertulis (± 3.000 – 1.500 SM)

  • Mesopotamia, Mesir, India, dan Tiongkok kuno mulai menulis mitologi dan doa kepada dewa.

  • Firaun Mesir dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi.

  • Di India kuno (Weda awal), muncul konsep dewa-dewa seperti Indra, Agni, Varuna.

  • Konsep “Tuhan tertinggi” mulai muncul walau masih bersama banyak dewa lain (henoteisme).


5. Munculnya Monoteisme Awal (± 1.350 SM – 500 SM)

  • Firaun Akhenaten di Mesir mencoba memperkenalkan pemujaan satu Tuhan Matahari (Aten)—meski gagal setelah kematiannya.

  • Bangsa Ibrani mulai membentuk konsep Yahweh sebagai satu-satunya Tuhan.

  • Di Persia, Zoroastrianisme mengajarkan Ahura Mazda sebagai Tuhan tunggal yang baik, berlawanan dengan Ahriman (jahat).


6. Konsep Tuhan Filsafat (± 500 SM – 500 M)

  • Yunani kuno (Plato, Aristoteles) mulai memikirkan Tuhan sebagai Penyebab Pertama yang tidak berubah.

  • Dalam agama Yahudi, Kristen, dan Islam yang berkembang kemudian, Tuhan dilihat sebagai mahaesa, mahakuasa, dan transenden.

  • Buddhisme awal tidak berfokus pada Tuhan personal, tapi di era Mahayana muncul konsep “Buddha Kosmis”.


Kesimpulan singkat:
Manusia mulai memiliki intuisi spiritual sejak ratusan ribu tahun lalu lewat pemakaman ritual. Namun konsep Tuhan personal dan tunggal baru muncul sekitar 3.000 tahun lalu, berkembang dari animisme → politeisme → monoteisme → Tuhan transenden yang dipahami secara filsafat.


Agama dan Narasi

 Pernahkah Anda bertanya, mengapa agama-agama besar di dunia nabi-nabinya tidak menulis sendiri kitab sucinya? Jadi kita sering menjumpai bahwa justru kitab suci adalah kumpulan tulisan atau kesaksian para pengikutnya yang kemudian dibukukan (kanonisasi). Ini menjadi pemikiran saya pagi ini. Saya coba menguraikan secara sederhana lewat pemikiran awam saya.

1. Para Nabi Umumnya Tidak Menulis Sendiri Kitab Sucinya

Banyak tokoh sentral agama besar memang tidak menulis langsung kitab suci yang menjadi dasar ajaran mereka. Contoh:

Yahudi: Musa dianggap sebagai tokoh utama dalam Taurat (Pentateukh), tapi para ahli sepakat bahwa teks-teks ini ditulis dan disunting oleh beberapa penulis setelah masa hidup Musa (teori dokumenter).

Kristen: Yesus tidak menulis Injil atau dokumen apa pun. Kitab Perjanjian Baru ditulis oleh murid-murid dan pengikutnya (Markus, Matius, Lukas, Yohanes, Paulus, dll).

Islam: Nabi Muhammad tidak menulis Al-Qur’an. Ia menyampaikan wahyu secara lisan, dan sahabat-sahabatnya kemudian menghafal dan menuliskannya, baru dikodifikasikan secara resmi pada masa Khalifah Utsman.

Hindu: Kitab-kitab seperti Weda berasal dari tradisi lisan yang sangat tua, bukan dari satu tokoh, dan disusun oleh resi-resi dalam periode yang panjang.

Buddha: Siddharta Gautama tidak menulis sendiri ajarannya. Ajaran Buddha dicatat dan disusun dalam bentuk Tripitaka oleh para pengikutnya ratusan tahun setelah wafatnya.

2. Agama Mengandung Narasi dari Penganut dan Komunitasnya

Realitas ini muncul dalam pemikiran saya, karena kitab-kitab suci ditulis, disusun, ditafsirkan, dan diwariskan oleh para pengikut atau komunitas, maka:

Ada unsur konteks sejarah, budaya, dan politik dari para penulis.

Teks agama sering mengalami kodifikasi dan kanonisasi oleh kelompok yang berkuasa.

Ajaran agama sering kali dibentuk oleh tradisi lisan, tafsir, komentar, dan konsensus komunitas dalam perjalanan waktu.

Contohnya:

Dalam Kekristenan, konsili-konsili gereja awal menentukan kitab mana yang dianggap kanonik (diilhami) dan mana yang tidak.

Dalam Islam, hadis sebagai sumber kedua hukum Islam juga melalui proses verifikasi dan kodifikasi oleh para ulama setelah Nabi wafat.

Dalam Hindu dan Buddha, banyak kitab suci adalah hasil kompilasi tradisi dan ajaran kolektif selama berabad-abad.


Kesimpulan

Agama tidak lahir sebagai teks tertulis dari satu orang saja, tetapi tumbuh dari interaksi antara pengalaman spiritual, tradisi lisan, komunitas pengikut, dan pengaruh sejarah yang kompleks. Karena itu, agama selalu memiliki unsur naratif yang dibentuk dan diwariskan oleh manusia.

Tulisan ini murni hanya pendapat pribadi saya, dari sebuah perenungan di pagi hari.

Yang baru sudah datang

 Setiap pikiran manusia menghasilkan perasaan-perasaan, dan pada gilirannya perasaan-perasaan itu akan mewujud dalam setiap tindakan atau perilaku dalam hidup manusia. Artinya setiap manusia yang bertindak dalam hidupnya lazimnya dimulai dari pikirannya terlebih dahulu. Tidak peduli apakah pikiran itu hanya muncul sekelebat atau sudah dipikirkan secara mendalam atau matang.  

Setiap pikiran manusia yang sudah biasa dilakukan, akan menghasilkan serangkaian tindakan yang juga secara otomatis dilakukan. Dengan demikian jika kita di suatu pagi sehabis berolah-raga lantas memikirkan segelas kopi panas, maka perasaan kitapun menggelora untuk segera mewujudkannya. lalu badan kita bergerak sesuai perasaan kita menuju ke dapur menyiapkan gelas, kopi, mungkin juga gula, susu, krimer, air panas, pemanas air dan seterusnya. Sehingga dalam waktu singkat kita sudah menikmati kopi panas sesuai dengan apa yang dipikirkan.

Sebuah ayat di dalam Alkitab pernah menyebut, yang tertulis dalam surat 2 Korintus 5:17 B

Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.

Ketika kita memikirkan hal-hal baru, yang tidak lain adalah hal hal yang belum pernah ada, maka pikiran kita mengalami kesulitan. Padahal inilah sebuah cara untuk memikirkan masa depan . Jika kita hanya berpikir tentang hal-hal yang sudah pernah kita pikirkan, sesungguhnya kita berada di masa lalu, sekalipun kita hidup pada masa kini.
Inspirasi yang diberikan oleh Rasul Paulus sesungguhnya mengajak kita punya perspektif baru tentang hari ini dan hari esok. Agar tidak lagi dilandasi dengan cara berpikir yang lama. Melainkan kita sebagai ciptaan baru dalam Kristus juga punya cara berpikir sebagaimana cara berpikir yang belum pernah kita lakukan sama sekali. 

BERAPA MAKSIMUM HEART RATE YANG AMAN?

 


Dengan banyaknya beredar smartwatch maka banyak hal bisa diketahui oleh pemakainya. Utamanya yang berhubungan dengan kesehatan. Misalnya saja mengetahui Heart Rate pemakai pada saat melakukan olah raga.   Pertanyaan yang sering muncul di kalangan para senior adalah :"Berapa heart rate yang diizinkan bagi para lansia saat mereka olah raga jalan pagi atau bahkan lari pagi?"

Berikut saya berikan contoh untuk mempermudah perhitungannya.  Misalnya saja laki-laki usia 57 tahun, berapakah heart rate maksimum yang diizinkan?

Maksimum heart rate (HRmax) adalah perkiraan detak jantung maksimum seseorang selama berolahraga intens. Rumus sederhana untuk menghitung HRmax adalah:

HRmax = 220 - usia.

Untuk laki-laki usia 57 tahun, maka:
HRmax = 220 - 57 = 163 bpm (beats per minute).

Namun, saat berolahraga, target heart rate yang aman biasanya berada pada 50-85% dari HRmax, tergantung pada tingkat kebugaran dan tujuan latihan:

  • 50-70% HRmax (zona aerobik ringan hingga sedang): 82-114 bpm.
  • 70-85% HRmax (zona aerobik intensif): 114-139 bpm.

Sebaiknya, konsultasikan dengan dokter sebelum memulai program olahraga, terutama jika memiliki kondisi medis tertentu.